SEPUTARAN.ID, BANJARMASIN – Pemko Banjarmasin tak main-main melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) dari Banjarmasin ke Banjarbaru.
Padahal Undang-undang (UU) perpindahan Provinsi Kalsel dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru tersebut sudah disahkan pada 15 Februari 2022 lalu.
Saat ini Pemko Banjarmasin masih mengatur strategi guna mengajukan judicial review ke MK sebagai respon atas pemindahan kedudukan Ibukota provinsi Kalsel.
Bahkan Pemko Banjarmasin sudah menggelar pertemuan tertutup dipimpin langsung oleh Walikota Banjarmasin, Ibnu Sina, membahas strategi apa yang akan dilakukan Pemko Banjarmasin.
“Kita minta masukan dari Bagian Hukum, Sekretariat Daerah Kota Banjarmasin, dan juga Dinas di Pemko terkait dengan rencana untuk judicial review UU Provinsi ini,” ujar Ibnu Sina, Rabu (2/3/2022).
Untuk itu, nanti malam dalam kegiatan Bamara, pihak Pemko Banjarmasin ingin meminta tanggapan dari warga sekaligus bertemu dan berbicara langsung dengan sejumlah pakar, terkait upaya Pemko melakukan Yudisial Review.
“Kita ingin menggali informasi dari masyarakat, bagaimana aspirasi mereka terkait dengan rencana Judicial Review ini. Terutama masyarakat Kota Banjarmasin,” ungkapnya.
Upaya untuk melakukan judisial review tersebut dilakukan bukan tanpa alasan, hal itu dilakukan karena hasil koordinasi pihaknya dengan seluruh Camat dan Lurah di Kota Banjarmasin menunjukkan bahwa tidak ada yang dilibatkan dalam proses pembentukan RUU provinsi yang kini sudah disahkan menjadi UU.
“Waktu saya tanya Camat dan Lurah dan Sekwan (Sekretariat DPRD Kota Banjarmasin) ternyata tidak pernah dilibatkan. Mereka tidak pernah mendapat undangan secara resmi terkait pemindahan kedudukan Ibukota Provinsi Kalsel ini,” jelasnya.
Ibnu menekankan, sikap Pemko Banjarmasin sendiri masih mempertanyakan proses pengesahan UU Provinsi Kalsel itu, pasalnya Ibnu merasa tidak pernah dilibatkan sejak awal kabar tersebut mencuat ke publik.
“Yang kita pertanyakan ini secara formil atau proses sampai disahkan,” imbuhnya.
Ia menilai, tidak ada untung atau rugi dengan pindahnya kedudukan ibukota ini, karena persoalan untung-rugi ini hal yang biasa.
“Tapi bagi kita dari sisi sejarah Kalimantan Selatan dikesampingkan. Karena Banjarmasin ini kan dulu statusnya pernah menduduki sebagai Ibukota Provinsi Kalimantan. Artinya ada aspek lain yang harus kita pertahankan,” bebernya.
Meski demikian, ia menyatakan, pihaknya tetap menginginkan suasana yang kondusif di masyarakat meski status Ibukota sudah tak lagi disandang oleh Bumi Kayuh Baimbai ini.
“Tapi kan aspirasi masyarakat dan pemerintah daerah (terkait pemindahan ibukota) juga perlu ditampung dan disampaikan. Kita masih punya waktu selama 45 hari sebelum diundangkan dalam lembaran UU negara. Jadi ada kesempatan untuk mengajukan yudicial review,” katanya.
Ia mengungkapkan, formula yang disetujui pihaknya sewaktu masih menduduki sebagai DPRD Provinsi Kalsel sudah bagus.
“Untuk mengurangi beban Banjarmasin, disetujui perkantoran dipindah ke Banjarbaru dan status Ibukota Provinsi masih di Banjarmasin. Kemudian dari tujuh UU provinsi yang dibahas saat pembahasan itu ibukotanya tetap semua. Karena mereka menghargai aspek sejarah. Kenapa Kalsel aja yang berubah,” jelasnya.
Ibnu juga mengklaim jika sampai saat ini pihaknya juga sudah berkonsultasi dengan akademisi maupun pakar terkait rencana pengajuan judicial review ini.
“Baik secara langsung dan tidak langsung kita lakukan. Bahkan ada banyak advokat yang bersedia secara sukarela membantu kita,” pungkasnya.(adv/smr)