Site icon Seputaran.id

Kekosongan Jabatan Sekwan Hambat Fungsi DPRD

Wakil Ketua DPRD Banjarmasin Harry Wijaya. (foto : sna/seputaran)

SEPUTARAN.ID, BANJARMASIN – Kekosongan kursi Sekretaris DPRD (Sekwan) Kota Banjarmasin, pasca hengkangnya Iwan Ristianto ke Pemprov Kalimantan Selatan (Kalsel), bukan sekadar urusan administratif belaka. Di balik lambatnya penunjukan pengganti, tersimpan dinamika politik internal yang kian menghangat di lingkungan legislatif kota ini.

Sejak pelantikan Iwan di Pemprov Kalsel pada Senin (13/10/2025) lalu, DPRD Banjarmasin belum juga menetapkan Pelaksana Tugas (Plt) Sekwan. Padahal, posisi strategis ini menjadi urat nadi kesekretariatan dewan mengelola dokumen penting, mengoordinasikan alat kelengkapan dewan, hingga memastikan agenda sidang berjalan sesuai jadwal.

Wakil Ketua DPRD Banjarmasin, H Harry Wijaya mengakui, belum ada keputusan final terkait sosok pengganti Iwan. Ia bahkan membantah isu bahwa unsur pimpinan telah menyepakati nama calon secara tertutup.

“Komunikasi hingga menghasilkan keputusan belum ada. Kalau ada nama kandidat pun tidak bisa langsung diterima. Kami menginginkan ada fit and proper test terlebih dahulu,” ujarnya, Kamis (16/10/2025).

Namun, di balik pernyataan diplomatis tersebut, sumber internal dewan menyebut proses penunjukan Sekwan pengganti kental dengan aroma politik. Setiap unsur pimpinan disebut memiliki preferensi masing-masing, berdasarkan loyalitas dan kedekatan birokratis.

Harry yang juga Ketua DPD PAN Banjarmasin menyebut, kunci penyelesaian persoalan ini sebenarnya sederhana,yakni keterbukaan komunikasi antar pimpinan dan fraksi. “Kami coba intens berkomunikasi dengan unsur pimpinan dan mendengarkan masukan fraksi. Semua harus diakomodir,” tegasnya.

Sayangnya, semangat “akomodasi” ini justru memperlihatkan lemahnya koordinasi di tubuh DPRD Banjarmasin. Ketidakmampuan mencapai kesepakatan dalam waktu cepat menandakan adanya ego sektoral dan tarik-menarik kepentingan antar fraksi serta partai penguasa di kursi pimpinan.

Kekosongan jabatan Sekwan ini tak hanya berdampak pada administrasi, tetapi juga berpotensi menghambat fungsi legislasi dan pengawasan DPRD. Sejumlah agenda penting seperti pembahasan keuangan daerah dan penjadwalan sidang paripurna terancam molor, karena ketiadaan pejabat berwenang yang dapat menandatangani dokumen resmi.

Dalam konteks politik lokal, situasi ini mencerminkan belum matangnya konsolidasi internal DPRD. Ironisnya, saat mengawasi kinerja eksekutif, dewan kerap menuntut transparansi dan akuntabilitas tinggi. Namun, dalam urusan rumah tangganya sendiri, proses justru berjalan tertutup dan penuh intrik. “Komunikasi lebih terbuka, memberikan keleluasaan saran dan pendapat, insyaallah hasilnya baik,” pungkasnya. (sna/smr)