Site icon Seputaran.id

Jaringan Pengendalian Tembakau dan MIKOM Uniska Tolak RUU Kesehatan

Jaringan Pengendalian Tembakau dan MIKOM Uniska. (foto : istimewa)

 

SEPUTARAN.ID, BANJARMASIN – Organisasi yang tergabung dalam Koalisi Perlindungan Masyarakat dari Produk Zat Adiktif Tembakau, menyatakan sikap tegas menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang sedang dibahas di DPR RI.

Tak hanya itu, organisasi tersebut juga mendesak Presiden Jokowi dan DPR RI menunda pengesahan RUU Kesehatan atau Omnibus Law sektor Kesehatan.

Dalam gabungan belasan organisasi, Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) Uniska Muhammad Arsyad Al Banjari (MAB) Banjarmasin juga turut aktif dalam upaya advokasi penolakan aturan yang dinilai tidak memenuhi hak publik secara luas.

“Bersama gabungan organisasi, melalui Aliansi Akademisi Komunikasi Indonesia untuk Pengendalian Tembakau (AAKIPT), MIKOM Uniska MAB ikut mendorong pemerintah dan pembuat undang-undang agar menghentikan pembahasan RUU Kesehatan yang sudah digodok pada Tim Panitia Kerja (Panja) DPR,” jelas Kepala Prodi MIKOM Uniska Marhaeni Fajar Kurniawati.

Menurutnya, salah satu alasan menolak RUU itu adalah minimnya pelibatan partisipasi publik dalam tahap penyusunan dan pembahasan, sehingga berpotensi menghilangkan kewajiban negara dalam perlindungan dan pemenuhan hak atas kesehatan publik yang merupakan amanah konstitusi.

Saat ini, RUU Kesehatan telah disetujui sebagai inisiatif DPR dalam rapat paripurna ke-16 masa persidangan III tahun sidang 2022-2023 pada 14 Februari 2023.

Untuk membahas RUU tersebut bersama pemerintah, Komisi IX DPR telah membentuk Tim Panja yang terdiri dari 27 orang dari unsur Pimpinan dan Anggota Komisi IX DPR RI.

Pasal-pasal dalam RUU Kesehatan lebih banyak mengemukakan soal kuratif dengan dukungan industri kesehatan, mengutamakan investasi daripada kebutuhan dasar rakyat yang seharusnya menjadi prioritas.

Penolakan serupa juga diutarakan Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi.

“Kami menolak pengesahan ataupun sertifikasi di dalam undang-undang kesehatan ini. Pemerintah dan juga DPR jangan memaksakan, jangan merusak sistem yang sudah baik dengan undang-undang yang tidak jelas ideologinya, tidak jelas substansinya, dan tidak jelas prosesnya,” katanya.

Bahkan, ia mendesak, proses pembahasan yang berjalan sekarang ini, harus dihentikan. Apalagi dengan adanya upaya-upaya yang menuju penghilangan pasal zat adiktif yang menjadi upaya penghapusan regulasi mengenai produk zat adiktif ini.

“Ada campur tangan industri dalam hal ini,” imbuhnya.

Untuk memastikan RUU Kesehatan ini memberikan perlindungan kepada masyarakat dari produk zat adiktif tembakau, jaringan pengendalian tembakau memberikan masukan melalui DIM versi masyarakat sipil untuk upaya pengendalian tembakau melalui partisipasi publik yang diselenggarakan Kemenkes dan melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di hadapan Ketua Panja RUU Kesehatan, Melkiades Lakalena, dan anggota Panja lainnya.

Jaringan masyarakat sipil untuk pengendalian tembakau melihat, proses pembahasan dan penyusunan rancangan UU ini cacat karena prosesnya tergesa-gesa, tidak ada transparansi kepada publik dan akuntabilitasnya dipertanyakan.

Sehingga, hasil penyusunan dan pembahasan RUU ini tidak dapat dipertanggungjawabkan, termasuk di dalamnya substansi terkait perlindungan masyarakat dari produk zat adiktif tembakau.

“Pembahasan RUU omnibus kesehatan tertutup dan tergesa-gesa, terlihat dari website Kemenkes, update DIM sangat minim dan public hearing yang telah dilakukan seakan hanya dekoratif saja. Tidak ada jaminan partisipasi kaum muda dapat terakomodasi dengan baik,” ungkap Project Manager IYCTC, Ni Made Shellasih.

Ia melanjutkan, pengendalian tembakau yang menyebabkan berbagai penyakit tidak akan dicapai, jika tidak mengutamakan pendekatan preventif.

Perbaikan-perbaikan perlu dilakukan dengan memperhatikan masukan dari berbagai pihak, termasuk larangan iklan, promosi, dan sponsor.

“Urgensi aturan ini seharusnya dimasukkan ke dalam RUU kesehatan itu sendiri, bukan di aturan turunan, untuk menjaga keterbukaan, melibatkan publik, dan memenuhi standar internasional yang telah ditetapkan,” jelasnya.

Bagi dia, jika aturan ini terlalu teknis dan terlempar ke peraturan yang lebih rendah, risiko pengendalian tembakau yang tidak terkendali semakin meningkat, dengan peningkatan iklan yang liar dan kurangnya pengawasan publik.

“Masukan dari Jaringan pengendalian tembakau dalam DIM RUU Kesehatan tidak mendapatkan tanggapan serius dari pemerintah dan DPR, menunjukkan sikap cuek mereka terhadap perhatian masyarakat terhadap dampak negatif tembakau,” ketusnya.

Sementara itu, Ketua Umum Komite Nasional Pengendalian Tembakau, Prof. Hasbullah Thabrany, turut mendesak pemerintah tidak memaksakan untuk mengesahkan undang-undang dengan jadwal tertentu.

“Undangkan jika rakyat telah mendapat perlindungan yang jelas, utamanya terkait zat adiktif. Kita minta agar Pemerintah dan DPR membuat aturan yang melindungi rakyat banyak bukan industri rokok ataupun yang terkait dengan industri rokok,” tuturnya.

Untuk itu, Komnas Pengendalian Tembakau dan Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI) bersama organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Perlindungan Masyarakat dari Produk Zat Adiktif Tembakau lainnya, merasa perlu menghimpun suara untuk menyampaikan penolakan tersebut, yang ditujukan kepada Pemerintah, dalam hal ini Kemenkes, dan DPR RI.

“Agar pembahasan dihentikan sampai proses penyusunan benar-benar mengakomodasi permintaan masyarakat, dan bukan semata-mata hanya untuk kepentingan Pemerintah dan DPR RI,” tandasnya. (sdy/smr)